Stocknesia-Meskipun sebelumnya kerap melancarkan kritik pedas terhadap kebijakan moneter, Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, menyatakan bahwa dirinya tidak berencana untuk memberhentikan Jerome Powell dari posisi puncak di Federal Reserve (The Fed).
Kendati demikian, Trump berharap agar Powell mengambil tindakan yang lebih berani dan progresif dalam hal penurunan suku bunga acuan.

Baca Juga
Dalam pernyataannya di Ruang Oval Gedung Putih pada hari Selasa, 22 April 2025, Trump menyampaikan ekspektasinya tersebut, sambil juga mengungkapkan keyakinannya terhadap prospek perbaikan dalam hubungan perdagangan antara Amerika Serikat dan Tiongkok.
“Saya ingin melihatnya sedikit lebih proaktif,” kata Trump, mengacu pada potensi penurunan suku bunga yang dilakukan oleh Powell, seperti yang dilaporkan oleh BBC.
Baca juga: Dampak Tarif Trump, IMF Prediksi Pertumbuhan Ekonomi Global Turun Jadi 2,8 Persen Tahun Ini
Minggu lalu, Trump sempat menyebut Powell sebagai seorang “pecundang total,” sebuah komentar yang langsung memicu gelombang aksi jual di pasar saham, obligasi, dan mata uang dolar AS.
Namun, turbulensi tersebut tidak berlangsung lama. Pasar keuangan dengan cepat kembali menunjukkan stabilitas.
Pernyataan Trump ini muncul setelah Direktur Dewan Ekonomi Nasional AS, Kevin Hassett, menyampaikan pada hari Jumat sebelumnya bahwa Trump sedang mempertimbangkan opsi untuk mengganti Powell dari jabatannya.
Sebagai informasi, Trump sendiri yang menunjuk Powell sebagai Ketua The Fed pada tahun 2017, saat ia menjalani periode pertamanya sebagai pemimpin di Gedung Putih.
Selanjutnya, Powell kembali dipercaya untuk menduduki jabatan tersebut selama empat tahun masa jabatan kedua oleh Presiden Joe Biden pada penghujung tahun 2021.
Hingga saat ini, The Fed belum melakukan pemangkasan suku bunga sepanjang tahun berjalan ini, setelah sebelumnya menurunkan suku bunga sebesar satu persen poin pada akhir tahun lalu—sebuah kebijakan yang juga sempat menjadi sasaran kritik dari Trump.
Terlepas dari semua itu, masih belum jelas apakah seorang presiden memiliki otoritas yang sah untuk memberhentikan ketua bank sentral. Sepanjang sejarah Amerika Serikat, belum pernah ada presiden yang mencoba melakukannya.
Baca juga: Trump Bertemu Bos-bos Ritel Besar di AS, Bahas Tarif Impor
Hubungan Dagang dengan China
Dalam kesempatan yang sama, Trump menegaskan akan menunjukkan sikap “sangat positif” dalam perundingan perdagangan dengan Tiongkok. Ia menyatakan bahwa tarif dapat dikurangi jika kesepakatan tercapai, meskipun tidak sampai sepenuhnya dihilangkan.
Sebelumnya, Menteri Keuangan AS, Scott Bessent, menyatakan bahwa peningkatan eskalasi perang dagang antara AS dan Tiongkok tidak dapat dibiarkan berlanjut dan menggambarkan situasi saat ini sebagai “tidak berkelanjutan.”
Pernyataan tersebut disambut baik oleh para pelaku pasar. Pada hari Rabu pagi, indeks saham utama di Asia mencatatkan kenaikan. Indeks Nikkei 225 di Jepang mengalami kenaikan sekitar 1,7 persen, Hang Seng di Hong Kong melonjak sebesar 2,3 persen, sementara Shanghai Composite di Tiongkok Daratan naik tipis di bawah 0,1 persen.
Penguatan ini mengikuti tren positif di pasar saham AS pada hari sebelumnya. Indeks S&P 500 ditutup dengan kenaikan sebesar 2,5 persen, dan Nasdaq melonjak sebesar 2,7 persen pada perdagangan hari Selasa. Kontrak berjangka AS juga tercatat mengalami kenaikan semalam, yang mengindikasikan sentimen positif investor terhadap arah pasar.
Namun, sebagian pelaku pasar mengungkapkan kekhawatiran bahwa tekanan politik terhadap Powell untuk menurunkan suku bunga justru dapat memicu inflasi, terutama di tengah beban tarif perdagangan yang mulai terasa.
IMF Turunkan Proyeksi Ekonomi AS
Ketegangan perdagangan antara dua kekuatan ekonomi terbesar di dunia ini, ditambah dengan tarif yang dikenakan oleh AS terhadap sejumlah negara lain, telah meningkatkan ketidakpastian global dan sempat mengguncang pasar keuangan dalam beberapa minggu terakhir.
Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF) juga telah merevisi turun proyeksi pertumbuhan ekonomi AS untuk tahun ini. Penurunan ini tercatat sebagai yang paling signifikan di antara negara-negara maju, dengan alasan ketidakpastian yang disebabkan oleh kebijakan tarif.
IMF memperingatkan bahwa peningkatan tarif dan ketidakpastian perdagangan dapat memicu “perlambatan yang signifikan” dalam pertumbuhan ekonomi global.
Sampai saat ini, pemerintahan Trump telah memberlakukan tarif hingga 145 persen terhadap berbagai barang impor dari Tiongkok. Negara-negara lain juga menghadapi tarif tambahan dari AS sebesar 10 persen yang berlaku hingga bulan Juli.
Jika digabungkan dengan tarif sebelumnya, beban tarif atas beberapa produk dari Tiongkok dapat mencapai hingga 245 persen.
Tiongkok tidak tinggal diam. Beijing telah membalas dengan mengenakan tarif hingga 125 persen terhadap produk-produk yang berasal dari AS dan menyatakan akan “berjuang sampai akhir.”