“`html
WASHINGTON, KOMPAS.com – Kebijakan tarif impor yang diterapkan oleh Presiden Donald Trump berpotensi memicu peningkatan inflasi di Amerika Serikat (AS). Bahkan, inflasi ini diperkirakan dapat bertahan pada level yang relatif tinggi.
Pernyataan ini disampaikan langsung oleh Ketua bank sentral AS, Federal Reserve (The Fed), Jerome Powell, dalam sebuah forum pada Jumat (4/4/2025) pagi waktu setempat.

Baca Juga
“Kita dihadapkan pada prospek yang sarat ketidakpastian, dengan risiko signifikan berupa peningkatan pengangguran dan melonjaknya inflasi,” ungkap Powell, seperti yang dilansir dari CNN.
Baca juga: Vietnam Sesalkan Tarif Impor Trump, Bakal Terus Koordinasi dengan AS
“Meskipun penerapan tarif kemungkinan besar akan menghasilkan lonjakan inflasi, setidaknya untuk sementara waktu, terdapat pula kemungkinan bahwa dampak tersebut akan terasa lebih berkepanjangan,” tambahnya.
Komentar dari Powell ini muncul beberapa hari setelah pemerintahan Trump mengumumkan peningkatan tarif AS yang paling drastis dalam kurun waktu 200 tahun terakhir, berdasarkan data yang dirilis oleh Fitch Ratings.
Penerapan tarif impor oleh Trump ini bahkan melampaui tingkat tarif ekspansif yang diberlakukan berdasarkan Undang-Undang Smoot-Hawley pada tahun 1930-an.
Tarif sebesar 10 persen untuk seluruh impor AS akan mulai diberlakukan pada hari Sabtu, 5 April 2025. Selain itu, terdapat jadwal penerapan tarif impor yang lebih tinggi pada tanggal 9 April 2025.
Baca juga: Sikapi Tarif Impor Donald Trump, RI Disarankan Tempuh Diplomasi Ketimbang Retaliasi
Kenaikan tarif impor yang digagas Donald Trump melampaui ekspektasi terburuk, sehingga memicu aksi jual besar-besaran di pasar saham global pada pekan ini. Analis ekonomi di JPMorgan kini memperkirakan adanya peluang resesi global sebesar 60 persen jika tarif tersebut tetap diberlakukan.
Sejumlah kalangan memprediksi bahwa harga barang konsumsi, terutama untuk kendaraan bermotor, akan mengalami peningkatan yang signifikan pada tahun ini.
Keputusan Trump untuk mengatasi ketidakseimbangan perdagangan dan memulihkan kegiatan produksi di AS berpotensi menyeret perekonomian menuju kondisi “stagflasi,” yaitu kombinasi antara pertumbuhan ekonomi yang stagnan, peningkatan angka pengangguran, dan percepatan laju inflasi.
“The Fed berada dalam situasi yang pelik, dihadapkan pada inflasi yang berpotensi meningkat dan perekonomian yang melambat,” jelas Kathy Bostjancic, kepala ekonom di Nationwide, dalam analisisnya.
Baca juga: Negosiasi Tarif Trump 32 Persen, Indonesia Kirim Tim Lobi Tingkat Tinggi ke AS
Prospek suku bunga The Fed usai pengumuman tarif impor Donald Trump
Sesaat sebelum pidato Powell, Trump melalui unggahan di platform media sosialnya mendesak The Fed untuk menurunkan suku bunga, bahkan menuding pimpinan bank sentral tersebut bermain politik.
“Saat yang tepat bagi Ketua The Fed Jerome Powell untuk memangkas suku bunga,” tulis Trump dalam unggahannya.
The Fed memilih untuk menerapkan strategi menahan suku bunga, sambil menunggu inflasi menunjukkan penurunan lebih lanjut dan mengamati bagaimana perubahan kebijakan utama Trump tercermin dalam data ekonomi.
Baca juga: Menghadapi Tarif Impor Donald Trump, Indonesia Perlu Diversifikasi Pasar Ekspor
The Fed masih memiliki harapan untuk melakukan pemangkasan suku bunga pada suatu waktu di tahun ini, berdasarkan proyeksi ekonomi terbaru yang mereka rilis pada bulan lalu.
The Fed tercatat telah memangkas suku bunga sebanyak tiga kali pada tahun lalu, sebagai respons terhadap indikasi bahwa inflasi mulai melambat.
Namun, tren tersebut terhenti menjelang pergantian tahun, yang meredam ekspektasi akan adanya pemangkasan suku bunga lebih lanjut dan akhirnya mendorong The Fed untuk mempertahankan posisinya pada bulan Januari 2025.
The Fed kembali mempertahankan suku bunga acuan pada bulan lalu.
Baca juga: Menko Airlangga Temui PM Malaysia, Bahas Langkah ASEAN Imbas Tarif Trump
Meskipun demikian, tarif yang baru-baru ini diberlakukan oleh Trump, jika tetap diterapkan, berpotensi memberikan dampak yang signifikan terhadap perekonomian AS.
Apabila dampaknya adalah peningkatan inflasi dan melonjaknya angka pengangguran, The Fed akan dihadapkan pada pilihan-pilihan yang sangat sulit.
Bank sentral memiliki mandat dari Kongres untuk memaksimalkan tingkat lapangan kerja dan menstabilkan harga.
Dalam skenario seperti itu, Powell menyatakan bahwa para pejabat The Fed akan “menilai sejauh mana masing-masing variabel tersebut dari target yang ditetapkan” dan berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk memperbaiki salah satunya.
Baca juga: Bursa Saham Dunia Berkubang di Zona Merah Imbas Tarif Trump
“Tidak diragukan lagi, ini adalah situasi yang rumit,” aku Powell.
Hingga saat ini, Trump telah memberlakukan bea masuk pada produk logam dan otomotif, serta menggandakan tarif terhadap produk-produk China menjadi 20 persen, di atas tarif yang telah diberlakukan selama masa jabatan pertama Trump, yang berpotensi dinaikkan lebih tinggi lagi hingga di atas 54 persen.
Sebagai balasan terhadap tarif Trump, China telah menerapkan tarif sebesar 34 persen untuk seluruh produk AS.
Powell berpendapat bahwa langkah terbaik yang dapat diambil oleh The Fed di tengah ketidakpastian akibat tarif impor Trump adalah dengan mempertahankan suku bunga untuk jangka waktu yang lebih lama. Pejabat The Fed dijadwalkan untuk kembali mengadakan pertemuan guna menetapkan kebijakan suku bunga pada tanggal 6 dan 7 Mei 2025.
Baca juga: Respons Tarif Impor Trump, Hipmi Sarankan 4 Hal Ini ke Pemerintah
“Kita harus menunggu dan melihat bagaimana perkembangan selanjutnya,” pungkas Powell.
“`