Stocknesia, Solo – Ferry Septha Indrianto, Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Solo, mengumumkan rencana ambisius untuk menggelar Solo Great Sale (SGS) 2025 pada bulan Juli tahun depan. Edisi kali ini menandai sebuah tonggak sejarah, sebab untuk pertama kalinya perhelatan akbar ini akan diselenggarakan secara simultan di seluruh wilayah Solo Raya, mencakup Kota Solo serta enam kabupaten di sekitarnya: Karanganyar, Boyolali, Klaten, Sukoharjo, Sragen, dan Wonogiri.
“Penyelenggaraan SGS di seluruh Solo Raya menjadi momentum krusial untuk memupuk kebersamaan dan mempererat kekompakan, yang pada gilirannya akan memacu pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan daya saing kawasan. Sebelumnya, SGS hanya berfokus di Kota Solo,” jelas Ferry kepada Tempo pada hari Kamis, 10 April 2025.

Baca Juga
Ferry meyakini bahwa penyelenggaraan SGS 2025 secara serentak di Solo Raya merupakan sebuah peluang emas untuk merealisasikan aglomerasi Solo Raya. Pihaknya menyambut dengan antusias gagasan dan konsep pengembangan kerjasama regional dalam wujud aglomerasi Solo Raya ini.
“Aglomerasi dapat diwujudkan sebagai alternatif pengganti konsep karesidenan yang telah dibubarkan, yang dulunya dikenal sebagai Karesidenan Surakarta sejak 16 Juni 1946,” imbuhnya.
Menurut Ferry, tidak ada salahnya bagi Solo Raya untuk mewujudkan aglomerasi, sebuah konsep yang lazim dalam bidang ekonomi dan tata ruang. Aglomerasi mencerminkan konsentrasi aktivitas manusia atau ekonomi dengan tujuan utama meningkatkan daya saing ekonomi dan mendorong pertumbuhan kawasan melalui integrasi wilayah dan efisiensi ekonomi.
Lebih lanjut, momentum ini bertepatan dengan menjelang 100 hari pemerintahan daerah di wilayah Solo Raya dan semakin meredanya wacana pembentukan Provinsi Daerah Istimewa Surakarta (DIS) atau Provinsi Solo Raya yang sempat mencuat pada tahun 2019 lalu.
Usulan pembentukan kedua provinsi tersebut dinilai lebih didasarkan pada pendekatan sejarah dan letak geografis semata. Kedua hal ini juga menjadi momentum penting.
“Biasanya, masyarakat memberikan penilaian terhadap kinerja pemerintahan yang sedang berjalan dalam 100 hari pertama. Selain itu, wacana pembentukan Daerah Istimewa Surakarta dan Provinsi Solo Raya kini semakin meredup. Saatnya beralih ke pendekatan ekonomi. Harapannya, aktivitas ekonomi semakin menggeliat, Solo Raya semakin solid, UMKM semakin berkembang, perusahaan/pabrik semakin maju, dan sektor pariwisata juga ikut terangkat,” tuturnya.
Ferry menambahkan, usulan Daerah Istimewa Surakarta, Provinsi Solo Raya, maupun keberadaan karesidenan yang kini telah dibubarkan, menjadi bahan evaluasi bersama bagi pemerintahan Solo Raya. Sebaiknya, fokus dialihkan dari pendekatan wilayah ke pendekatan perekonomian, mengingat kondisi ekonomi global yang tengah lesu.
Konsep aglomerasi dan pendekatan wilayah berdasarkan geografis memiliki perbedaan fundamental, baik dari segi aspek, tujuan, maupun dampak signifikan terhadap suatu wilayah.
“Adapun inisiasi aglomerasi Solo Raya bertujuan untuk menjaga keberlanjutan wilayah Surakarta melalui konsentrasi ekonomi,” jelasnya.
Permasalahan yang dihadapi saat ini, lanjutnya, adalah keterbatasan ruang pembangunan akibat lahan yang terbatas, serta hilangnya peran dan fungsi awal yang menjadi dasar pembentukan Karesidenan Surakarta.
Lebih dari sekadar perubahan administratif, bubarnya Karesidenan juga menandai berakhirnya konsep awal yang menetapkan Solo sebagai pusat perkotaan seluas 44 kilometer persegi, yang didukung oleh enam kabupaten dengan total wilayah mencapai 5.600 kilometer persegi.
Secara proporsi, luas Solo hanya mencakup kurang dari 1 persen dari keseluruhan wilayah Karesidenan, yang seharusnya tetap berfungsi sebagai episentrum pembangunan kawasan.
“Otonomi daerah justru memicu ego sektoral. Ego sektoral ini harus diredam. Akibatnya, kota kecil berjuang sendiri tanpa dukungan dari wilayah sekitarnya. Kita tidak ingin Surakarta menjadi kota yang gagal,” tegasnya.
Ferry menyinggung buku karya Presiden Prabowo yang berjudul “Why Nations Fail”, yang mengupas alasan mengapa bangsa-bangsa mengalami kegagalan, yaitu karena negara, pemerintah pusat, hingga pemerintah daerah tidak mampu mengatasi ketidakpastian yang dihadapi warga dan membiayai operasional kepemerintahannya.
“Di sinilah esensi dari aglomerasi Solo Raya, yang menjadi satu-satunya solusi untuk menjaga keberlanjutan wilayah Surakarta. Kita fokus melalui pendekatan ekonomi, dan aspek-aspek lainnya akan mengikuti,” pungkasnya.
Pilihan Editor: Apindo: Pelemahan Rupiah Membebani Pengusaha