Stocknesia – JAKARTA. Pada perdagangan hari Rabu (9/4), nilai tukar rupiah menunjukkan performa yang menggembirakan dengan menguat terhadap mata uang dolar Amerika Serikat (AS). Penguatan ini sejalan dengan sentimen negatif yang sedang melanda greenback di pasar keuangan global.
Berdasarkan data yang dihimpun oleh Bloomberg, pergerakan rupiah di pasar spot menunjukkan penutupan pada level Rp 16.873 per dolar AS. Angka ini mencerminkan apresiasi sebesar 0,11% dibandingkan dengan posisi penutupan sebelumnya yang berada di Rp 16.891 per dolar AS.

Baca Juga
Kondisi penguatan nilai tukar rupiah ini terjadi di tengah gelombang pelemahan signifikan yang dialami oleh dolar AS terhadap berbagai mata uang utama di kancah internasional.
Pelemahan Rupiah Jadi Momentum Penguatan Reasuransi Lokal
Tekanan terhadap dolar dipicu oleh kekhawatiran yang berkembang di kalangan pelaku pasar terkait dampak potensial dari kebijakan tarif tinggi yang diterapkan oleh AS terhadap produk-produk asal China. Situasi ini memicu aksi jual yang meluas di berbagai pasar keuangan.
Ketegangan semakin meruncing setelah pemerintah AS secara resmi mengumumkan pemberlakuan tarif baru sebesar 104% terhadap barang-barang impor dari China, yang efektif berlaku mulai hari Rabu pukul 12:01 waktu setempat (0401 GMT). Presiden Donald Trump belum memberikan indikasi akan menarik diri dari kebijakan yang kontroversial ini.
Sentimen di pasar langsung menunjukkan reaksi yang bergejolak. Indeks saham utama di AS mencatatkan penurunan yang substansial, sementara imbal hasil (yield) obligasi mengalami lonjakan akibat aksi jual yang gencar. Investor global dilaporkan mulai meninggalkan aset-aset yang berbasis dolar.
“Kekhawatiran pasar timbul akibat tidak adanya alternatif pengganti yang cepat untuk produk-produk China, yang berpotensi meningkatkan risiko inflasi dan resesi di AS,” ungkap Francesco Pesole, seorang analis valas di ING, seperti dikutip dari Reuters.
Ia menambahkan bahwa skenario “sell America” mulai menunjukkan tanda-tanda kembalinya.
Jelang Penutupan, Rupiah Menjauh dari Level Rp 17.000 Per Dolar AS
Sebagai dampaknya, dolar mengalami pelemahan sebesar 0,8% terhadap yen Jepang, mencapai level 145,09, dan melemah 0,4% terhadap franc Swiss, menyentuh titik terendah dalam enam bulan terakhir di 0,8379.
Di sisi lain, euro mencatatkan penguatan sebesar 0,8% menjadi US$1,1044, didorong oleh berita positif dari Jerman, di mana partai konservatif dan Sosial Demokrat berhasil mencapai kesepakatan untuk membentuk pemerintahan baru.
Pasar obligasi AS juga tidak luput dari tekanan. “Obligasi dengan tenor 30 tahun mengalami aksi jual yang besar-besaran. Imbal hasil melonjak, dan swap spread mencetak rekor baru di atas 96 basis poin,” jelas Hauke Siemssen, seorang analis suku bunga di Commerzbank.
Spread OIS Treasury 10 tahun bahkan menyentuh -100,3 basis poin, menandakan adanya tekanan likuiditas yang cukup signifikan.
Di pasar yuan offshore, dolar juga mengalami pelemahan sebesar 0,6% menjadi 7,38 yuan, setelah sebelumnya mencetak rekor tertinggi di level 7,4288.
Para pelaku pasar kini dengan cermat menantikan respons dari bank sentral China terkait penetapan kurs harian, yang dapat menjadi indikasi pelonggaran lebih lanjut.
Pelemahan Rupiah Picu Risiko Kurs, Asuransi Umum Harus Perkuat Retensi dan Modal
“Tekanan terhadap renminbi mengindikasikan adanya spekulasi di pasar bahwa China mungkin akan melakukan devaluasi yang lebih besar di tengah meningkatnya eskalasi perang dagang dengan AS,” kata Lee Hardman, seorang analis senior di MUFG.
Dalam situasi ketidakpastian global yang semakin meningkat dan tensi perdagangan yang memanas, investor global kini kembali beralih ke aset-aset yang dianggap aman (safe haven), dan menjauhi aset-aset yang lebih berisiko—termasuk dolar AS.