Stocknesia – JAKARTA. Nilai tukar rupiah mengalami tekanan signifikan di pasar spot pada perdagangan hari Kamis (3/4). Sentimen negatif ini diperparah oleh kebijakan tarif baru yang diterapkan Amerika Serikat (AS) terhadap sejumlah negara, termasuk Indonesia.
Saat pembukaan pasar, rupiah langsung tertekan, berada di level Rp 16.771 per dolar AS. Angka ini mencerminkan penurunan sebesar 0,35% dibandingkan dengan penutupan hari sebelumnya yang berada di Rp 16.713. Level ini menjadi titik terlemah rupiah yang pernah tercatat.

Baca Juga
Menurut pengamatan ahli mata uang, Ibrahim Assuaibi, faktor utama yang memicu pelemahan ini adalah eskalasi ketegangan perdagangan global. Hal ini dipicu oleh keputusan Presiden AS Donald Trump untuk memberlakukan kebijakan tarif impor yang baru.
10 Mata Uang dengan Performa Terburuk di Tahun 2024
Dalam kebijakan tersebut, Trump menetapkan tarif impor sebesar 10% untuk semua negara, yang akan mulai berlaku pada tanggal 5 April 2025. Namun, tarif yang lebih tinggi akan dikenakan kepada 60 negara mulai tanggal 9 April 2025, dengan alasan adanya ketidakseimbangan tarif yang ditetapkan AS dan dugaan praktik perdagangan yang tidak adil.
Beberapa negara yang paling terdampak oleh tarif tinggi ini antara lain adalah China dengan total tarif 34%, Vietnam 46%, Taiwan 32%, Jepang 24%, Uni Eropa 20%, dan Indonesia 32%.
Dengan tarif yang tinggi tersebut, negara-negara ini berpotensi melakukan tindakan balasan, yang dapat memicu perang dagang yang lebih luas. Ibrahim memperkirakan bahwa dampak dari perang dagang ini dapat membuat rupiah kembali mencetak rekor terburuknya.
“Kondisi perang dagang ini menekan nilai tukar rupiah lebih dalam. Kemungkinan besar, dalam beberapa minggu mendatang, pembukaan (rupiah) akan berada di level Rp 16.900,” ungkap Ibrahim pada hari Kamis (3/4).
Di tengah ketidakpastian perdagangan yang meningkat, indeks dolar AS (DXY) justru menunjukkan penurunan. Data dari Trading Economics pada hari Kamis (3/4) pukul 13.01 WIB menunjukkan bahwa DXY berada di level 103,787, turun sebesar 0,98% secara harian. Akan tetapi, pelemahan dolar AS ini tidak secara otomatis memberikan dampak positif bagi penguatan rupiah.
Tarif Baru Trump Picu Kepanikan di Industri Otomotif Global
Hal ini disebabkan karena pasar mulai mengurangi paparan terhadap aset-aset emerging market, termasuk mata uang rupiah, seiring dengan meningkatnya kekhawatiran. Volatilitas mata uang global diperkirakan akan tetap tinggi setelah pengumuman tarif ini, dan Ibrahim memprediksi bahwa rupiah akan terus mengalami penurunan dalam waktu dekat.
“Ada potensi besar bahwa rupiah akan menembus level Rp 17.000. Ini adalah sesuatu yang perlu diwaspadai,” imbuh Ibrahim.
Ibrahim menyarankan agar pemerintah Indonesia mengambil langkah-langkah untuk merespons kebijakan AS dengan menetapkan tarif impor yang setara, yaitu 32%, terhadap produk-produk AS. Selain itu, Ibrahim juga menekankan pentingnya bagi Indonesia, sebagai anggota BRICS, untuk segera mencari pasar alternatif untuk mengalihkan surplus ekspor AS ke pasar lain.
Lebih lanjut, Ibrahim juga mengimbau pemerintah untuk terus memberikan stimulus guna menstabilkan nilai tukar rupiah. “Bank Indonesia perlu terus melakukan intervensi di perdagangan DNDF, terutama dalam valuta asing dan obligasi,” pungkasnya.
Merujuk pada riset BRI Danareksa pada hari Kamis (3/4), AS mengklaim bahwa Indonesia adalah salah satu negara yang mengenakan tarif tinggi terhadap produk-produk AS. Akibatnya, Indonesia juga termasuk dalam daftar negara yang dikenakan tarif tinggi berdasarkan kebijakan terbaru AS.
Investor Bereaksi Saat Tarif Otomotif Trump Mengguncang Pasar
Meskipun demikian, data dari Bank Dunia menunjukkan bahwa rata-rata tarif tertimbang Indonesia terhadap impor AS hanya sebesar 4,2%. Perbedaan tarif yang diklaim oleh AS diperkirakan berasal dari hambatan non-tarif atau faktor-faktor terkait mata uang. Contohnya, tarif 30% yang dikenakan Indonesia terhadap etanol AS jauh lebih besar dibandingkan dengan tarif 2,5% yang dikenakan AS terhadap etanol dari Indonesia.