Jakarta, IDN Times – Rachmat Gobel, seorang anggota Komisi VI DPR RI, membagikan pengalamannya ketika menjabat sebagai Menteri Perdagangan, khususnya terkait upayanya dalam membatasi arus masuk produk impor ke pasar domestik. Tindakan ini diambil sebagai respons terhadap potensi dampak yang timbul akibat tarif impor dari Amerika Serikat (AS).
Menurut Rachmat Gobel, pengawasan ketat dari pemerintah sangat penting untuk melindungi industri padat karya dalam negeri dari dampak negatif barang impor ilegal yang semakin marak.
“Saat saya menjabat sebagai Menteri Perdagangan, saya meninjau secara mendalam volume impor kita, terutama untuk produk tekstil, sepatu, dan berbagai barang lainnya. Saya berdiskusi dengan asosiasi terkait data impor yang saya miliki. Contohnya, jika pasar kita memiliki kapasitas 100, tetapi impor sudah mencapai 70 persen, saya bertanya, ‘Apakah kita mampu mengisi sisa pasar tersebut?’ Jika jawabannya ya, saya akan menahan laju impor,” jelas Rachmat dalam sesi Real Talk with Uni Lubis by IDN Times, yang diselenggarakan pada Jumat (5/4/2025).

Baca Juga
1. Mengamankan Pasar Domestik Melalui Pengawasan Impor Ilegal yang Diperketat
Rachmat menekankan bahwa pemerintah memiliki kapasitas untuk melindungi industri dalam negeri melalui penerapan kebijakan yang tepat sasaran, tanpa harus bergantung sepenuhnya pada insentif fiskal. Salah satu strategi krusial adalah mengamankan pasar melalui regulasi yang ketat, yang berfungsi untuk mencegah masuknya produk impor yang tidak terkendali.
“Saya berpendapat bahwa melindungi industri kita adalah bentuk insentif itu sendiri. Dengan menerapkan peraturan yang melindungi pasar dari serbuan impor, itu sudah memberikan dampak signifikan. Tidak perlu terlalu fokus pada insentif fiskal semata,” ujarnya.
Dampak Tarif Impor Trump, Pekerja Khawatirkan Gelombang PHK yang Mencapai 50 Ribu Jiwa
Dampak Tarif Impor Trump, Pekerja Khawatirkan Gelombang PHK yang Mencapai 50 Ribu Jiwa
2. Melindungi Produk Lokal dan Karya-Karya Unggul Pengrajin Dalam Negeri
Rachmat menggambarkan sebuah contoh konkret yang ia saksikan sendiri di pasar lokal, khususnya di Solo, di mana kain batik dijual dengan harga yang sangat rendah, jauh di bawah biaya produksi lokal.
“Saya menemukan kain batik dijual seharga Rp10 ribu, sangat murah. Ini bukan hanya soal motifnya, tetapi juga desain batiknya. Hal ini sudah saya antisipasi, dan praktik seperti ini tidak diperbolehkan,” tegasnya.
Menurut Rachmat, jika situasi ini terus berlanjut tanpa adanya tindakan, pengrajin lokal akan kehilangan motivasi untuk terus berkreasi, dan pada akhirnya budaya batik Indonesia dapat terancam kelestariannya.
“Jika kita membiarkan hal ini terjadi, para pengrajin kita akan kehilangan semangat. Kemudian, batik ini akan menjadi budaya siapa? Budaya yang diimpor dari luar, bukan budaya kita. Ini adalah masalah yang harus ditangani dengan serius,” katanya.
Rachmat menjelaskan bahwa membangun industri bukan hanya tentang mendirikan pabrik atau menciptakan lapangan kerja, tetapi juga tentang menjaga nilai-nilai budaya dan ekonomi yang mendukung keberlanjutan industri lokal.
“Mengapa penting bagi kita untuk membangun industri? Karena pasar kita adalah kekuatan kita,” tegasnya.
Dengan menjaga industri dalam negeri dan melindungi produk lokal dari dampak negatif impor, Rachmat berharap Indonesia dapat mempertahankan kekuatan pasar domestik dan sekaligus mendukung perkembangan sektor industri yang berkelanjutan.
Pemerintah RI Kirim Tim Lobi ke AS Terkait Tarif Impor, Anggota DPR Minta Upaya Maksimal
Pemerintah RI Kirim Tim Lobi ke AS Terkait Tarif Impor, Anggota DPR Minta Upaya Maksimal
3. Pemerintah Harus Berkompetisi dalam Menarik Peluang Relokasi Pabrik Secara Agresif
Sementara itu, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, menyatakan bahwa pemerintah harus bersaing dengan negara-negara lain untuk memanfaatkan peluang relokasi pabrik ke Indonesia sebagai akibat dari tarif impor resiprokal.
Berdasarkan data tarif yang diterapkan oleh Trump, Indonesia dikenakan tarif sebesar 32 persen, sementara Vietnam 46 persen dan Kamboja 49 persen. Ini berarti tarif di Indonesia masih lebih rendah dibandingkan dengan kedua negara tersebut yang selama ini menjadi tujuan utama relokasi pabrik.
“Tidak cukup hanya mengandalkan selisih tarif resiprokal yang lebih rendah dibandingkan Vietnam dan Kamboja. Kunci utamanya terletak pada regulasi yang konsisten, efisiensi perizinan, dan menghindari RUU yang menimbulkan polemik seperti RUU Polri dan RUU KUHAP,” kata Bhima kepada IDN Times, pada hari Kamis, 3 April 2025.