Stocknesia, Jakarta – Khudori, seorang ekonom dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), menyampaikan bahwa interpretasi terhadap instruksi Presiden Prabowo Subianto terkait penghapusan kuota impor sebaiknya tidak disederhanakan sebagai upaya membuka lebar keran impor. Menurutnya, pernyataan Presiden tersebut lebih tepat diartikan sebagai perintah untuk melindungi produsen dalam negeri tanpa harus bergantung pada instrumen kuota.
“Argumen yang menyatakan bahwa harga pangan domestik mahal, yang kemudian dijadikan alasan untuk mempermudah impor, perlu dicermati dengan seksama. Sebab, di balik alasan tersebut, nasib jutaan petani, peternak, pekebun, dan nelayan menjadi taruhannya,” ungkap Khudori dalam keterangan tertulis yang dirilis pada Kamis, 10 April 2025.

Baca Juga
Khudori berpendapat bahwa para pembantu presiden di kabinet seharusnya memaknai perintah presiden sebagai urgensi untuk menemukan instrumen lain, selain kuota, guna melindungi produsen domestik, termasuk menjamin ketersediaan pangan yang memadai. Ia menekankan bahwa sistem kuota seringkali tidak transparan dan cenderung menjadi lahan subur bagi praktik favoritisme kelompok tertentu, sementara kelompok lain justru terpinggirkan.
Tempo sebelumnya telah memberitakan mengenai kuota impor bawang putih yang diberikan kepada kelompok tertentu, yang diduga memiliki kedekatan dengan kekuasaan. Sementara itu, importir dan pelaku usaha yang telah berkecimpung dalam bisnis bawang putih selama puluhan tahun justru tidak mendapatkan alokasi kuota selama 2-3 tahun terakhir.
Pada komoditas daging kerbau, Tempo juga menyoroti dugaan adanya praktik monopoli distribusi yang menyebabkan harga menjadi tinggi. Praktik tidak jujur juga terjadi pada komoditas ikan. Tempo melaporkan bahwa para importir diduga dikenakan biaya untuk memperlancar penerbitan Surat Persetujuan Impor (SPI).
Khudori menambahkan bahwa rezim kuota cenderung memicu praktik korupsi. Ia mencontohkan kasus Nyoman Dhamantra, mantan anggota DPR dari PDIP, yang terjerat kasus pengurusan kuota impor bawang putih pada tahun 2019. Selain itu, Ketua DPD Irman Gusman juga tertangkap tangan menerima suap sebesar Rp 100 juta dalam proses penentuan kuota impor gula pada tahun 2016. Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaaq juga terlibat dalam kasus suap impor daging sapi pada tahun 2013.
“Dari ketiga kasus korupsi yang berkaitan dengan kuota impor pangan, terlihat bahwa praktik ini melibatkan tiga pihak: pengusaha sebagai pihak yang memberikan suap, birokrat sebagai pihak yang memberikan izin impor atau kuota, dan politikus yang memanfaatkan pengaruhnya. Jadi, sebenarnya, akar dari kasus korupsi dalam impor pangan terletak pada kebijakan pengendalian impor yang berbasis pada rezim kuota,” jelas lulusan Fakultas Pertanian Universitas Jember ini.
Khudori menjelaskan bahwa rezim kuota dikendalikan melalui SPI yang kewenangannya berada di Kementerian Perdagangan. Untuk produk hortikultura seperti bawang putih, importir wajib memiliki Rekomendasi Impor Produk Hortikultura (RIPH) terlebih dahulu dari kementerian teknis, dalam hal ini Kementerian Pertanian.
Menurut Khudori, konsekuensi dari sistem ini adalah bahwa untuk mendapatkan kuota, importir harus “menebusnya” dengan sejumlah biaya tertentu. Dalam kasus impor bawang putih, Ombudsman menemukan bahwa pada tahun 2023, terdapat permintaan fee sebesar Rp 4.000 hingga Rp 5.000 per kilogram untuk SPI, meningkat dari fee pada tahun 2020 yang sebesar Rp 1.500 per kilogram. Pada tahun ini, fee yang diminta diduga meningkat menjadi Rp 7.000 hingga Rp 8.000 per kilogram.
“Singkatnya, penetapan penerima kuota impor yang tidak transparan membuka peluang terjadinya korupsi, transaksi ilegal, dan praktik tidak sehat. Selain itu, kuota impor juga berpotensi hanya terkonsentrasi pada segelintir kelompok perusahaan,” tegas penulis buku “Bulog dan Politik Perberasan” ini.
Pilihan Editor: Gema Takbir Menolak Penggusuran di Pulau Rempang