Stocknesia, Jakarta – Terjebak kemacetan parah selama hampir 48 jam menjadi pengalaman pahit bagi Nuratmo. Peristiwa ini terjadi di sekitar Pelabuhan Tanjung Priok pada Kamis, 17 April 2025. Sebagai seorang sopir truk kontainer dengan pengalaman hampir seperempat abad, Nuratmo mengakui bahwa kemacetan kali ini adalah yang terburuk selama karirnya di Tanjung Priok.
Kemacetan dahsyat itu memaksa Nuratmo untuk menginap di jalan layang Tol Cakung yang menuju pelabuhan. “Bayangkan, bagaimana kami bisa mencari makan di jalan tol layang? Teman-teman terpaksa menggunakan tali tambang untuk menarik makanan dari bawah,” ungkap Nuratmo saat ditemui di Gelanggang Remaja Jakarta Utara pada hari Ahad, 20 April 2025. Ketua Keluarga Besar Sopir Indonesia (KBSI) ini menambahkan bahwa saat itu ia masih mampu berkomunikasi dengan sesama sopir untuk saling membantu mencari makanan. Namun, ia menyadari bahwa tidak semua sopir memiliki jaringan yang sama untuk mendapatkan bantuan serupa.

Baca Juga
Senada dengan Nuratmo, Sorimuda, sopir lainnya, juga merasakan dampak kemacetan. Ia terjebak selama 12 jam dalam perjalanan dari Marunda menuju pelabuhan. Padahal, dalam kondisi normal, rute tersebut hanya membutuhkan waktu sekitar setengah jam. Sama seperti Nuratmo, Sorimuda juga kesulitan mendapatkan makanan. Selain itu, ia merasa khawatir meninggalkan kendaraannya karena maraknya aksi premanisme di kawasan Tanjung Priok.
Lebih lanjut, Sorimuda mengeluhkan kerugian finansial akibat kemacetan. Ia terpaksa mengeluarkan biaya dua kali lipat untuk kebutuhan bahan bakar. Jika biasanya ia hanya menghabiskan Rp 150 ribu untuk solar, kali ini ia harus merogoh kocek hingga Rp 300 ribu. Sorimuda, yang telah menjadi sopir sejak tahun 1993, menggambarkan kemacetan ini sebagai yang paling parah yang pernah ia alami.
Dalam keputusasaan, Sorimuda sempat mempertimbangkan untuk berhenti menjadi sopir truk, namun ia mengurungkan niatnya karena masih harus menanggung kebutuhan keluarganya. “Anak-anak masih membutuhkan biaya sekolah. Namun, jika situasinya terus seperti ini, saya juga merasa stres,” keluhnya.
Muhammad Arira Fitra, Sekretaris Jenderal Federasi Buruh Transportasi Pelabuhan Indonesia (FBTPI), mengkritik PT Pelabuhan Indonesia Persero (Pelindo) atas kurangnya keseriusan dalam mengatasi masalah kemacetan. Ia menyoroti bahwa aktivitas bongkar muat seringkali terhambat akibat kekurangan peralatan dan sistem yang bermasalah. Arira mendesak agar Gate Multi Terminal Indonesia, yang berfungsi sebagai common gate, segera dibongkar karena dinilai tidak efektif. Menurutnya, pembongkaran Gate MTI akan menciptakan kantong-kantong parkir kendaraan yang lebih luas.
Arira juga menyayangkan bahwa Pelindo tidak memberikan kompensasi atas kerugian yang dialami para sopir akibat kemacetan. “Akibat kemacetan, mereka harus membeli makanan tambahan, minuman tambahan, dan solar,” tegasnya.
Menanggapi keluhan tersebut, PT Pelabuhan Indonesia (Persero) atau Pelindo telah menyampaikan permohonan maaf atas kemacetan yang terjadi. Executive General Manager Pelindo Regional 2 Tanjung Priok, Adi Sugiri, menjelaskan bahwa kemacetan disebabkan oleh peningkatan arus barang peti kemas. “Kami memohon maaf kepada seluruh masyarakat, mitra, dan stakeholder yang terkena dampak kemacetan ini. Kemacetan panjang ini diakibatkan oleh peningkatan aktivitas bongkar muat di Pelabuhan Tanjung Priok,” ujar Adi dalam keterangan tertulis pada Kamis, 17 April 2025.
Adi mengungkapkan bahwa salah satu titik kemacetan terparah berada di Terminal NPCT 1. Data dari Pelindo menunjukkan peningkatan hampir 100 persen dalam jumlah truk yang masuk ke terminal tersebut. Jika biasanya jumlah truk yang masuk tidak mencapai 2.500 unit, pada hari Kamis tersebut terdapat lebih dari 4 ribu unit.
Pilihan Editor: Bagaimana Koperasi Desa Merah Putih Membebani APBN