JAKARTA, KOMPAS.com – Institute for Development of Economics and Finance (Indef) memprediksi bahwa Bank Indonesia (BI) diperkirakan akan tetap mempertahankan tingkat suku bunga acuannya pada angka 5,75 persen.
Sebagai informasi, bank sentral dijadwalkan untuk mengadakan rapat dewan gubernur (RDG) BI pada tanggal 22 hingga 23 April 2025. Dalam rapat ini, BI akan menentukan kebijakan suku bunga acuan yang sesuai dengan kondisi ekonomi terkini.

Baca Juga
Abdul Manap Pulungan, seorang peneliti dari Pusat Makroekonomi dan Keuangan Indef, berpendapat bahwa BI sepertinya belum akan menurunkan suku bunga acuannya mengingat nilai tukar rupiah yang relatif stabil.
Baca juga: Trump Serang Bos Bank Sentral AS karena Tak Turunkan Suku Bunga
Meskipun demikian, pemerintah telah mendesak BI untuk segera melakukan penurunan suku bunga acuan. Tujuannya adalah untuk memulihkan likuiditas perekonomian yang saat ini mengalami penurunan.
“Dari pengamatan kami, BI rate kemungkinan besar akan dipertahankan. Hal ini didasari oleh fakta bahwa depresiasi rupiah sudah mulai mereda di pertengahan bulan April ini,” ungkapnya dalam sebuah diskusi publik, seperti dikutip pada hari Minggu (20/4/2025).
Dia menambahkan bahwa, meskipun demikian, perbaikan fundamental tetap diperlukan untuk memastikan nilai tukar mata uang Garuda tetap kuat.
Salah satu cara untuk mencapai hal ini adalah dengan meningkatkan cadangan devisa melalui peningkatan ekspor dan investasi dari luar negeri.
Dalam konteks ini, ia mencontohkan China sebagai negara yang berhasil menjaga nilai tukar mata uangnya dengan memiliki cadangan devisa yang besar.
Tercatat, posisi cadangan devisa Indonesia mengalami peningkatan pada bulan Maret 2025 menjadi 157,1 miliar dollar AS.
Kenaikan ini didorong oleh penerimaan pajak dan jasa, serta penarikan pinjaman luar negeri oleh pemerintah.
“Kenaikan cadangan devisa kita menjadi 157 miliar dollar AS kemarin bukan disebabkan oleh peningkatan ekspor, melainkan lebih karena penerbitan global bond,” jelasnya.
Sementara itu, Eko Listiyanto, seorang ekonom dari Indef, memperkirakan bahwa bank sentral Amerika Serikat (The Fed) akan mempertahankan Fed Funds Rate pada kisaran 4,25-4,5 persen.
Alasan di balik perkiraan ini adalah nilai tukar dollar AS yang masih menunjukkan pelemahan.
Konsensus di antara para ekonom juga mengarah pada kesimpulan yang sama.
Sebanyak 81 persen ekonom meyakini bahwa The Fed tidak akan mengubah suku bunga pada rapat Federal Open Market Committee (FOMC) yang akan datang pada tanggal 7 Mei.
Namun, untuk periode FOMC berikutnya, yaitu dari bulan Juni hingga Oktober 2025, mayoritas ekonom memperkirakan adanya kenaikan Fed Funds Rate. “Dari aspek keuangan, terlihat bahwa kenaikan suku bunga tidaklah mudah, karena ada tekanan pada nilai tukar mereka. Namun, ada analisis yang lebih condong ke arah peningkatan di masa depan,” ujar Eko dalam kesempatan yang sama.
Eko berpendapat bahwa meningkatnya ketegangan perang dagang antara AS dan China dapat mendorong The Fed untuk menaikkan suku bunga acuannya di masa mendatang.
Hal ini disebabkan karena tekanan pada perdagangan kedua negara berpotensi memicu lonjakan inflasi.
Menurutnya, risiko inflasi akan semakin besar jika AS dan China saling membalas dengan mengenakan tarif impor dalam jumlah besar.
Dampaknya tidak hanya terbatas pada inflasi, tetapi juga berpotensi menyebabkan resesi di AS.
“Implikasinya adalah jika inflasi meningkat, suku bunga juga akan naik. Kemungkinan besar kebijakan moneter akan diperketat,” terangnya.
Seperti yang diketahui, ketegangan perdagangan antara AS dan China semakin meningkat.
Kedua negara terus saling membalas dengan kebijakan yang memperburuk hubungan ekonomi global.
Terbaru, AS menaikkan tarif impor barang dari China hingga 245 persen.
Angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan tarif sebelumnya yang sebesar 145 persen.
Baca juga: Kebijakan Suku Bunga AS Bikin Investor Bitcoin Optimistis