Pada sesi perdagangan Jumat (11/4/2025), Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) kembali menunjukkan tren penurunan. Data dari RTI Business mencatat, IHSG dibuka pada level 6.195,56. Kemudian, pada pukul 09.00 WIB, indeks terkoreksi sebesar 81,7 poin atau 1,31 persen, mencapai posisi 6.172,29.
Namun, sekitar pukul 10.05 WIB, terlihat adanya pemulihan di pasar saham Indonesia. IHSG bergerak naik ke level 6.263,84, dengan komposisi saham yang menunjukkan 259 emiten mengalami kenaikan, 249 saham stagnan, dan 254 saham lainnya berada di wilayah negatif. Volume perdagangan tercatat sebanyak 4,71 miliar saham, dengan nilai transaksi mencapai Rp3,72 triliun dan frekuensi perdagangan sebanyak 370.805 kali.
Menurut Associate Director of Research and Investment Pilarmas Investindo, Maximilianus Nico Nemus, IHSG diprediksi akan melanjutkan pergerakan yang cenderung melemah dalam rentang 6.160-6.530. Proyeksi ini sejalan dengan sentimen yang mendominasi bursa saham global saat ini. Faktor utama yang memengaruhi pergerakan harga saham adalah kebijakan tarif perdagangan tinggi yang diterapkan oleh Presiden AS saat itu, Donald Trump, terutama terhadap Cina dengan peningkatan tarif menjadi 145 persen dari sebelumnya 125 persen. Sebagai respons, Cina mengambil langkah-langkah balasan, termasuk melarang impor sejumlah film produksi AS dan memberikan imbauan kepada warganya untuk mempertimbangkan kembali perjalanan atau studi di AS.

Baca Juga
Di sisi lain, data inflasi AS menunjukkan penurunan yang tidak terduga. Inflasi bulanan (month to month/mtm) turun dari 0,2 persen menjadi -0,1 persen, sementara inflasi tahunan juga merosot dari 2,8 persen menjadi 2,4 persen.
“Penurunan inflasi ini tentu saja memicu spekulasi dari The Fed (The Federal Reserve) dan Trump mengenai potensi penurunan suku bunga. Perlambatan laju inflasi ini cukup mengejutkan pelaku pasar dan investor, karena belum mencerminkan dampak dari kebijakan tarif. Hal ini dapat memberikan semacam ketenangan bagi pelaku pasar dan investor,” ujar Nico, dalam analisis yang diterima Tirto, Jumat (11/4/2025).
Sebelum pelemahan IHSG, Wall Street telah lebih dulu mengalami turbulensi, di mana ketiga indeks utamanya ditutup di zona merah. Dow Jones anjlok 1.014,79 poin atau 2,50 persen ke level 39.593,66; indeks S&P 500 merosot 188,85 poin atau 3,46 persen ke 5.268,05; dan Nasdaq terjun bebas 737,66 poin atau 4,31 persen ke 16.387,31.
Bursa saham di kawasan regional Asia juga mengalami tekanan. Indeks Nikkei Jepang tercatat turun 1.548,99 poin atau 4,48 persen ke level 33.060,01; Indeks Harga Saham Gabungan Kuala Lumpur (KLCI) Malaysia melemah 23,71 poin atau 1,62 persen ke posisi 1.439,42; indeks Strait Times Singapura turun 205 poin atau 2,29 persen ke posisi 3.495. Sementara itu, bursa saham Cina menunjukkan volatilitas, dengan indeks Han Seng Hong Kong turun 0,28 persen ke posisi 20.623 dan indeks SSE Composite Cina naik tipis 0,02 persen ke angka 3.224,29.
“Kenaikan tarif awal Amerika terhadap Tiongkok sebesar 50 persen diperkirakan akan mengurangi pertumbuhan ekonomi Tiongkok sebesar 1,5 persen. Namun, dampak kenaikan tarif 50 persen berikutnya diperkirakan lebih kecil, yaitu hanya mengurangi 0,9 persen. Pertanyaannya adalah, apakah Tiongkok akan bersedia untuk bernegosiasi dengan Amerika? Menurut kami, jawabannya adalah tidak,” lanjut Nico.
Baik IHSG maupun bursa regional mengalami penurunan setelah sempat mencatatkan penguatan. Sebagai contoh, pada perdagangan Kamis (10/4/2025), IHSG ditutup menguat 286,03 poin atau 4,79 persen ke posisi 6.254,02. Bursa saham regional juga mengalami tren positif, seperti Nikkei yang naik 2.894,97 poin atau 3,13 persen ke 34.609,00; indeks Shanghai menguat 36,83 poin atau 1,16 persen ke 3.223,64; dan indeks Kuala Lumpur menguat 62,54 persen atau 4,47 poin ke posisi 1,463,13.
Sentimen positif di bursa saham Indonesia dan regional dipicu oleh pengumuman penundaan tarif resiprokal selama 90 hari oleh pemerintah AS untuk sejumlah negara, termasuk Indonesia. Akan tetapi, penundaan ini tidak berlaku untuk Cina, yang justru mengalami peningkatan tarif menjadi 125 persen.
“Kebijakan Trump memberikan dampak langsung pada pasar keuangan domestik, yang tercermin dalam nilai tukar rupiah yang mencatatkan rekor terlemah sepanjang sejarah dengan menembus Rp17.101 per dolar AS. Selain itu, penurunan tajam juga terjadi di Bursa Wall Street dan bursa saham Asia, yang memperburuk sentimen pasar global,” jelas Equity Analyst PT Indo Premier Sekuritas (IPOT), Dimas Krisna Ramadhani, dalam keterangannya, dikutip Jumat (11/4/2025).
Gejolak yang timbul akibat kebijakan tarif Trump bahkan sempat menyebabkan IHSG mengalami suspensi karena anjlok hingga 9,19 persen atau 598,56 poin ke level 5.912,06 saat pembukaan perdagangan Selasa (8/4/2025). Penghentian perdagangan sementara (trading halt) tidak dapat dihindari, meskipun Bursa Efek Indonesia (BEI) telah menyesuaikan batas trading halt dari 5 persen menjadi 8 persen.
“Sebagai indikator awal perekonomian atau leading indicator, IHSG memberikan sinyal penting mengenai arah perekonomian Indonesia ke depan. Oleh karena itu, pergerakan IHSG harus diperhatikan dengan seksama oleh para investor,” kata Dimas.
Meskipun Trump menunda pemberlakuan tarif kepada Indonesia selama 90 hari, penurunan ekonomi riil yang tercermin dalam pergerakan IHSG akan semakin sulit diatasi dengan kebijakan yang ada. Diperlukan kebijakan yang lebih strategis untuk mengantisipasi dampak lanjutan dari tekanan global.
Di bursa, langkah BEI dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang mengubah kebijakan teknis seperti ARB (Auto Reject Below) menjadi 15 persen dan trading halt, dinilai akan efektif menahan tekanan jual oleh investor. Namun, langkah ini berpotensi menyebabkan likuiditas pasar semakin terbatas.
“Jika ekonomi global mengalami perlambatan, Indonesia juga berisiko mengalami hal yang sama,” imbuhnya.
Menanggapi situasi pasar saat ini, Dimas memproyeksikan bahwa IHSG masih memiliki potensi untuk mengalami koreksi lebih lanjut, dengan target terdekat pada level 5.500. Ia juga mengingatkan para investor untuk tetap disiplin dalam menjalankan trading plan, melakukan evaluasi portofolio, menjaga kesehatan keuangan, serta menghindari keputusan emosional yang dapat merugikan.
Baca juga:
- Rating Saham RI Anjlok Sinyal Ekonomi Kita Tak Baik-Baik Saja
- Kemenkeu Pastikan Danantara Tidak Menggadaikan Saham Pemerintah
Turbulensi Belum Usai
Dalam kesempatan terpisah, Senior Investment Information Mirae Asset Sekuritas, Nafan Aji Gusta, berpendapat bahwa gejolak ekonomi global yang berkelanjutan berpotensi memicu turbulensi di bursa saham Indonesia. Berdasarkan analisisnya, saat ini IHSG masih berada di area 5.961-5.900.
Jika skenario terburuk terjadi, IHSG berpotensi anjlok ke kisaran 5.500. Sebaliknya, jika sentimen negatif mereda, indeks saham gabungan dapat mencapai level 6.808, dan dalam skenario yang lebih optimis, mencapai posisi 7.709.
“Jika pergerakan IHSG sudah menyentuh batas terendah dari right angle descending broadening wedge pattern, maka harapan terjadinya technical rebound akan terbuka lebar. Jadi, menurut saya, rebound tersebut seharusnya diikuti oleh meredanya temper tantrum effect. Fluktuasi pergerakan hari ini juga dipengaruhi oleh temper tantrum effect,” jelas Nafan, kepada Tirto, Jumat (11/4/2025).
Oleh karena itu, ia berharap agar perundingan dagang yang sedang diupayakan pemerintah Indonesia dengan pemerintah AS dapat menghasilkan hasil yang positif dan menguntungkan kedua belah pihak. Jika ini terjadi, pergerakan harga saham tidak akan sevolatil seperti saat ini.
“Ke depannya, pergerakan IHSG tidak akan sevolatil dibandingkan dengan pergerakan IHSG di kuartal I. Skenario negatifnya sudah saya sebutkan, di level 5.500. Sedangkan skenario positifnya di 6.808, dan skenario optimisnya di 7.709. Tergantung sentimen mana yang lebih dulu mendominasi,” sambungnya.
Sementara itu, Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal, Keuangan Derivatif dan Bursa Karbon OJK, Inarno Djajadi, mengakui bahwa IHSG telah mengalami pelemahan sejak awal tahun. Secara year to date (ytd) sejak awal tahun hingga 10 April 2025, indeks harga saham turun 11,67 persen.
“Nilai kapitalisasi pasar tercatat sebesar Rp11.126 triliun, naik 2,27 persen month to date, namun secara year to date turun sebesar 9,80 persen,” paparnya, dalam Konferensi Pers Hasil Rapat Dewan Komisioner (RDK) Bulanan OJK secara daring, Jumat (11/4/2025).
Dengan mempertimbangkan kondisi pasar terkini dan untuk menjaga stabilitas pasar modal, OJK telah mengambil kebijakan pembelian kembali atau buyback saham tanpa Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Selain itu, otoritas juga memutuskan untuk menunda implementasi pembiayaan transaksi short selling – transaksi jual beli saham atau efek yang dilakukan tanpa memiliki saham yang dijual pada awal transaksi.
Kemudian, pada awal April, OJK juga telah meminta BEI untuk melakukan penyesuaian batas trading halt serta pemberlakuan asymmetric auto rejection – pembatasan minimum dan maksimum suatu kenaikan dan penurunan harga saham dalam jangka waktu satu hari perdagangan di bursa saham.
“OJK terus melakukan monitoring atas perkembangan pasar dan tentunya mengambil respons kebijakan yang cepat dan tepat dalam memitigasi volatilitas pasar,” tegas Inarno.
Baca juga:
- Bursa Saham Global dan IHSG di Tengah Ketegangan Kebijakan Trump
- Trading Halt IHSG Dilakukan dalam Kondisi Apa dan Berapa Lama?