“`html
Stocknesia JAKARTA. Kinerja beberapa perusahaan properti yang berfokus pada kawasan industri menunjukkan perlambatan sepanjang kuartal pertama tahun 2025. Situasi ini dipengaruhi oleh dampak berlanjut dari ketegangan perdagangan global, yang dipicu oleh kebijakan tarif timbal balik dari Presiden Amerika Serikat (AS) saat itu, Donald Trump.
Sebagai contoh, PT Surya Semesta Internusa Tbk (SSIA) mencatat pendapatan sebesar Rp 1,06 triliun pada kuartal I 2025, sedikit menurun sebesar 2,1% dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya yang mencapai Rp 1,09 triliun.

Baca Juga
VP of Investor Relations & Sustainability SSIA, Erlin Budiman, menjelaskan bahwa terjadi penurunan signifikan sebesar 57,3% *year-on-year* (yoy) dari segmen perhotelan, yang tercatat sebesar Rp99,6 miliar hingga Maret 2025. Penurunan ini disebabkan oleh penutupan sementara Hotel Melia Bali untuk keperluan renovasi yang dimulai sejak Oktober 2024.
“Meskipun segmen perhotelan mengalami penurunan sementara akibat renovasi yang telah direncanakan, SSIA memandang langkah ini sebagai investasi strategis. Tujuannya adalah untuk memperkuat portofolio hotel dan menghasilkan nilai tambah yang lebih tinggi dalam jangka menengah,” kata Erlin dalam pernyataan pers yang dirilis pada hari Rabu, 7 Mei.
Sampai akhir Maret, SSIA mencatatkan kerugian bersih konsolidasian sebesar Rp21,7 miliar, meningkat dibandingkan dengan kerugian bersih sebesar Rp14,9 miliar pada periode yang sama di tahun sebelumnya.
Surya Semesta Internusa (SSIA) Mencatatkan Pendapatan Rp 1,06 Triliun di Kuartal I-2025
Sementara itu, PT Puradelta Lestari Tbk (DMAS) melaporkan pendapatan usaha sebesar Rp 508 miliar pada kuartal I 2025. Angka ini menunjukkan penurunan tipis sekitar 7,5% dibandingkan dengan pendapatan usaha pada kuartal pertama tahun 2024, yaitu sebesar Rp 549 miliar.
Direktur dan Sekretaris Perusahaan DMAS, Tondy Suwanto, menjelaskan bahwa segmen industri masih menjadi penyumbang kontribusi terbesar bagi pendapatan perusahaan. Pendapatan usaha dari sektor industri pada kuartal pertama tahun 2025 mencapai Rp 475,9 miliar, atau sekitar 93,7% dari total pendapatan usaha DMAS.
Selanjutnya, sektor komersial dan hunian masing-masing menyumbang sebesar Rp 15,5 miliar dan Rp 8,3 miliar. “Kontribusi lainnya berasal dari pendapatan usaha hotel dan rental,” ungkapnya dalam keterbukaan informasi yang diterbitkan pada tanggal 29 April 2025.
Laba bersih DMAS juga mengalami penurunan sedikit, dari Rp 366,12 miliar pada kuartal I 2024 menjadi Rp 355,45 miliar pada kuartal I 2025.
Di sisi lain, PT Jababeka Tbk (KIJA) justru berhasil mencatatkan kinerja yang positif selama tiga bulan pertama tahun ini. KIJA membukukan pendapatan konsolidasi sebesar Rp 1,29 triliun pada kuartal I 2025, yang menunjukkan pertumbuhan signifikan sebesar 87% dibandingkan dengan Rp 690 miliar pada periode yang sama tahun lalu.
Corporate Secretary KIJA, Muljadi Suganda, mengatakan bahwa perseroan juga berhasil mencatatkan laba bersih sebesar Rp 200,5 miliar pada kuartal I 2025, berbalik dari kerugian bersih sebesar Rp 107,7 miliar pada kuartal I 2024.
“Pencapaian ini terutama didorong oleh pertumbuhan pendapatan dan peningkatan margin laba kotor secara keseluruhan,” jelasnya dalam keterbukaan informasi tertanggal 2 Mei 2025.
KIJA menargetkan perolehan pendapatan prapenjualan, atau *marketing sales*, untuk sepanjang tahun 2025 sebesar Rp3,5 triliun.
Rinciannya, sebesar Rp 1,25 triliun dari target tersebut diharapkan berasal dari Cikarang, dan Rp 800 miliar dari pengembangan lahan dan bangunan industri di Cikarang. Sisanya, Rp 450 miliar, diharapkan berasal dari properti residensial dan komersial di Cikarang, termasuk dari perusahaan patungan dan sumber lainnya.
“Sementara sisanya, sebesar Rp 2,25 triliun, berasal dari perusahaan patungan kami di Kendal,” tambah Muljadi.
Pendapatan KIJA Naik 87% Menjadi Rp 1,29 Triliun per Kuartal I 2025, Inilah Faktor Pendorongnya
Dipengaruhi Kondisi Manufaktur
Nafan Aji Gusta, Senior Market Analyst Mirae Asset Sekuritas, menjelaskan bahwa kinerja emiten properti kawasan industri pada periode ini sangat dipengaruhi oleh kinerja sektor manufaktur di Indonesia.
“Pada awal April, PMI Manufaktur domestik mengalami kontraksi akibat kebijakan perang tarif. Ini menjadi tantangan bagi para emiten kawasan industri,” ujarnya kepada Kontan, pada hari Kamis (8/5).
Di sepanjang tahun 2025, faktor perang tarif diperkirakan masih akan berlanjut. Akibatnya, prospek kinerja emiten properti kawasan industri juga diperkirakan masih akan menghadapi tantangan berat di tahun ini.
“Jika ada perundingan yang menghasilkan hasil yang optimal, tren PMI Manufaktur akan kembali tumbuh, termasuk di Indonesia,” tuturnya.
Dengan mempertimbangkan hasil kinerja kuartal I 2025, Nafan memberikan rekomendasi *accumulative buy* untuk saham KIJA dengan target harga Rp 208 per saham.
Head of Investment Specialist Maybank Sekuritas Indonesia, Fath Aliansyah Budiman, berpendapat bahwa kinerja DMAS akan sangat bergantung pada penjualan lahan industri. Sejauh ini, penjualan lahan industri mengalami sedikit penurunan sebesar 7,4% *year-on-year* (yoy).
Secara historis, DMAS dikenal sebagai emiten yang rutin memberikan pembayaran dividen kepada para pemegang saham. Akan tetapi, besaran dividen tersebut sangat tergantung pada kinerja penjualan lahan industri dan ketersediaan kas perusahaan.
“Apabila penjualan lahan industri mengalami perlambatan, hal ini akan berdampak pada potensi pembayaran dividen di tahun mendatang,” ujarnya kepada Kontan, Kamis (8/5).
Di sisi lain, KIJA memiliki diversifikasi lahan yang lebih baik dibandingkan DMAS. Dalam jangka pendek, kontribusi terhadap kinerja KIJA akan lebih banyak didorong oleh penjualan lahan industri, residensial, dan komersial untuk area Jababeka, serta hasil pengembangan dari Kendal Industrial Park (hasil kerjasama dengan Sembcorp) di Jawa Tengah.
Sedangkan, untuk jangka waktu yang lebih panjang, KIJA berencana mengembangkan area yang memiliki sensitivitas tinggi terhadap industri pariwisata di Tanjung Lesung dan Morotai.
“Melihat performa kuartal I 2025, kawasan Kendal Industrial Park berpotensi menjadi salah satu sentimen positif terhadap kinerja KIJA di sisa tahun 2025 dan di masa mendatang,” katanya.
Puradelta Lestari (DMAS) Menargetkan Marketing Sales Rp 1,81 Triliun di 2025
Prospek Saham
Equity Analyst Indo Premier Sekuritas (IPOT), Indri Liftiany, menjelaskan bahwa KIJA berhasil membukukan pendapatan positif karena didorong oleh lonjakan dari pilar *land development & property* serta peningkatan kinerja dari sektor infrastruktur, yang tercatat melonjak sebesar 230% *year-on-year* (yoy).
Di sisi lain, pendapatan DMAS pada kuartal I 2025 masih didukung oleh segmen *data center*. Sementara itu, penurunan pendapatan SSIA disebabkan oleh penurunan kinerja di sektor perhotelan akibat adanya renovasi.
Indri juga mengamati bahwa perang tarif global memberikan dampak negatif terhadap kinerja emiten properti kawasan industri. Hal ini tercermin dari PMI Manufaktur Indonesia yang terkontraksi ke level 46,7.
“Jika indeks PMI terus mengalami kontraksi, maka akan berdampak negatif secara tidak langsung pada kinerja para emiten ke depan,” ungkapnya kepada Kontan, Kamis (8/5).
Melansir data dari RTI, saham DMAS mengalami kenaikan sebesar 16,28% dalam sebulan terakhir dan 0,67% secara *year to date* (YTD). Saham SSIA juga mengalami kenaikan sebesar 15,49% dalam sebulan terakhir, tetapi mengalami penurunan tajam sebesar 39,03% YTD.
Situasi serupa juga terjadi pada saham KIJA. Sahamnya mengalami kenaikan sebesar 9,94% dalam sebulan terakhir, tetapi mengalami penurunan sebesar 4,84% YTD.
Secara umum, penguatan hanya terlihat pada pergerakan harga saham DMAS, yang sempat melonjak beberapa waktu lalu karena adanya pembagian dividen.
Sementara itu, kinerja saham KIJA dan SSIA masih berada di area bawah dan belum menunjukkan tanda-tanda pembalikan arah.
SSIA Mengalokasikan Capex Rp3,6 Triliun pada 2025, Fokus untuk 2 Proyek Ini
Menurut Indri, di tengah kondisi pasar saat ini, saham-saham *second liner* masih kurang diminati. Sebab, kenaikan IHSG secara keseluruhan masih didukung oleh saham-saham yang memiliki *market cap* besar, seperti *big banks* dan kelompok konglomerasi lainnya.
“Sejauh ini, kami belum bisa merekomendasikan saham mana yang menarik, sebab belum ada konfirmasi pasti mengenai potensi *rebound* dalam waktu dekat,” tuturnya.
Praktisi Pasar Modal & Founder WH-Project, William Hartanto, melihat bahwa pergerakan saham SSIA berada di level *support* Rp 775 per saham dan *resistance* Rp 865 per saham, dengan tren yang cenderung melemah. Akibatnya, William juga merekomendasikan sikap *wait and see* untuk saham SSIA.
“`