Stocknesia – JAKARTA. Implementasi kebijakan tarif impor yang agresif oleh Presiden Amerika Serikat (AS) saat itu, Donald Trump, telah memicu gelombang ketidakpastian di pasar keuangan global. Sebagian besar indeks saham di berbagai belahan dunia mengalami tekanan yang signifikan.
Menurut data yang dihimpun oleh Bloomberg, indeks Dow Jones mengalami penurunan sebesar 3,98% pada hari Kamis (3/4). Selain itu, indeks S&P 500 juga mencatat penurunan substansial sebesar 4,84%. Di Eropa, Euro Stoxx 50 turun 4,53%, dan FTSE 100 juga merasakan dampaknya dengan penurunan sebesar 3,60%.

Baca Juga
Di kawasan Asia, Nikkei mencatatkan penurunan yang cukup signifikan, yakni sebesar 2,75%. Selain itu, S&P/ASX 200 juga mengalami penurunan sebesar 2,44%, dan Hang Seng turut terpengaruh dengan penurunan sebesar 1,52% pada hari Jumat (4/4).
Penurunan yang terjadi di bursa saham global ini juga diiringi dengan peningkatan persepsi risiko investasi, yang tercermin dari kenaikan Credit Default Swap (CDS) dengan tenor 5 tahun. Sebagai contoh, CDS 5 tahun AS mengalami kenaikan sebesar 7,87% dalam kurun waktu satu bulan, mencapai level 36,89 berdasarkan data dari World Government Bonds pada hari Jumat (4/4).
Di benua Eropa, dalam periode waktu yang sama, CDS Belanda mengalami kenaikan sebesar 6,04%, Italia naik 6,98%, dan Perancis melonjak tajam sebesar 16,59%. Sementara itu, di kawasan Asia, CDS 5 tahun Jepang mengalami kenaikan sebesar 17,16%, dan China melesat sebesar 25,10% hingga mencapai angka 58,66.
Senior Economist KB Valbury Sekuritas, Fikri C. Permana, menjelaskan bahwa data-data tersebut secara jelas mengindikasikan kekhawatiran pasar global terhadap dampak dari kebijakan tarif yang diterapkan oleh Trump. Menurutnya, dampak dari kebijakan tarif ini tidak hanya terbatas pada pasar keuangan, tetapi juga merambah ke sektor riil.
“Untuk sementara waktu, akan ada tekanan yang signifikan terhadap negara-negara yang memiliki peran sebagai eksportir ke AS,” ungkapnya kepada Kontan.co.id pada hari Jumat (4/4).
Bursa Asia Melemah Sepekan, Sentimen Tarif Trump dan Data Ekonomi AS Jadi Penekan
Namun, melihat ke depan, AS diperkirakan akan menghadapi kerugian yang semakin besar karena adanya potensi perubahan dalam rantai pasokan (supply chain), atau pergeseran pola perdagangan global secara keseluruhan. Hal ini disebabkan oleh kemungkinan negara-negara, khususnya di wilayah Asia, akan mengambil langkah-langkah untuk melonggarkan kebijakan moneter mereka, yang berpotensi menarik masuknya dana asing ke pasar Asia.
Kepala Ekonom BCA, David Sumual, memperkirakan bahwa indeks dolar akan berada dalam tren penurunan sejalan dengan ekspektasi pelonggaran kebijakan moneter di negara-negara emerging market. Oleh karena itu, ia juga memprediksi bahwa aliran dana asing berpotensi untuk masuk ke pasar Asia.
Meskipun demikian, tidak semua negara di Asia akan merasakan dampak positif yang sama. Beberapa negara di Asia dinilai akan terkena dampak yang cukup signifikan akibat penerapan tarif oleh Trump, seperti Laos, Kamboja, Vietnam, dan Myanmar, yang dikenakan tarif sebesar 40% karena kedekatan geografis mereka dengan China, yang seringkali dijadikan sebagai batu loncatan oleh China untuk melakukan ekspor ke AS.
David melihat Malaysia, Thailand, dan India sebagai negara dengan tingkat risiko yang lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara emerging market lainnya. Hal ini tercermin dari CDS 5 tahun Filipina yang berada di level 57,35 dan Malaysia di 57,19, sementara India tetap stabil di angka 84,08 dalam enam bulan terakhir.
“Fundamental ekonomi masing-masing negara, seperti defisit neraca transaksi berjalan, kondisi fiskal, dan prospek ekonomi, dianggap cukup baik,” jelas David.
Fikri juga sependapat bahwa dana asing akan lebih cenderung masuk ke Malaysia dan India terlebih dahulu karena tarif yang dikenakan lebih rendah. Tarif Trump untuk Malaysia sebesar 24% dan untuk India sebesar 26%.
Sementara itu, untuk Indonesia, lanjut Fikri, dana asing diperkirakan belum akan masuk dalam waktu dekat karena besaran tarif yang cukup signifikan dan perlunya fundamental ekonomi yang lebih kuat lagi.
“Setelah fundamental ekonomi menunjukkan perbaikan yang signifikan, terjadi perubahan dalam rantai pasokan, dan adanya negosiasi perdagangan dengan negara-negara yang terdampak, kemungkinan baru akan ada aliran dana masuk ke Indonesia,” kata Fikri.
Kepala Ekonom Bank Permata, Josua Pardede, menambahkan bahwa aliran dana asing diperkirakan akan keluar dari pasar keuangan Indonesia, mengingat CDS 5 tahun Indonesia berada di level 100,45. Dana asing ini terutama akan keluar dari instrumen yang memiliki sensitivitas tinggi terhadap persepsi risiko global, seperti obligasi pemerintah (SUN) dan pasar saham.
“Dengan yield obligasi AS yang masih tinggi serta tekanan stagflasi yang muncul di AS, investor global memiliki alasan yang kuat untuk menarik dana dari emerging markets, termasuk Indonesia, dan mengalihkan dana tersebut ke aset yang dianggap lebih aman, seperti US Treasuries atau instrumen safe-haven lainnya seperti Yen Jepang dan Franc Swiss,” terangnya.
Fikri menilai bahwa dalam kondisi saat ini, investor cenderung mengalihkan dana mereka ke US Treasury Bills, atau obligasi pemerintah AS dengan tenor yang lebih pendek. Menurutnya, hal ini sejalan dengan penurunan yield yang lebih tinggi, yang berarti harganya naik lebih besar.
Berdasarkan data dari Trading Economics, US Treasury dengan tenor 10 tahun mengalami penurunan sebesar 0,479% dalam satu tahun. Sementara itu, tenor 4 minggu hingga tenor 2 tahun mengalami penurunan di atas 1%.
Dampak Tarif Baru Donald Trump, Triliunan Dolar Hilang di Pasar Saham AS
Selain mengalihkan dana ke US Treasury, Fikri berpendapat bahwa investor juga cenderung mengalihkan dana mereka ke kas di tengah ketidakpastian yang sedang berlangsung.
Perencana Keuangan Finansia Consulting, Eko Endarto, juga menyarankan agar investor sebaiknya mengalihkan dana mereka ke produk safe haven untuk melindungi aset dari goncangan pasar. Ia juga menyarankan agar investor dengan tipe agresif dapat mengalokasikan 40% dana mereka di kas, 60% di emas, dan sebagian kecil di saham bluechip.
Kemudian, untuk tipe moderat, dapat mengatur portofolio mereka dengan alokasi 30% di kas dan instrumen setara kas, 50% di emas, dan sisanya dapat dialihkan ke saham bluechip. “Untuk investor konservatif, alokasinya adalah 50% di kas dan instrumen setara kas, serta 50% di emas dan obligasi jangka pendek,” kata Eko.