Stocknesia – JAKARTA. Di tengah pusaran gejolak pasar valuta asing Asia yang dipicu oleh kebijakan tarif impor yang diterapkan oleh Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump, mata uang Singapura (SGD) menunjukkan resiliensinya.
Ketahanan ini sebagian besar disebabkan oleh posisi strategis Singapura sebagai pusat transit perdagangan, alih-alih menjadi produsen utama barang-barang ekspor.

Baca Juga
Menurut Lukman Leong, seorang analis di Doo Financial Futures, meskipun Singapura dikenakan tarif sebesar 10%, dampak terhadap nilai tukar SGD relatif minimal.
Hadapi Tarif Impor AS, Investor Perlu Cermati Kebijakan Ekspor Masing-Masing Emiten
“Bahkan, dolar Singapura berpotensi mengalami penguatan karena reputasinya sebagai aset safe haven di kawasan regional,” kata Lukman kepada Kontan.co.id, Kamis (3/4).
Pandangan serupa juga diungkapkan oleh Ibrahim Assuaibi, seorang pengamat mata uang, yang berpendapat bahwa kebijakan tarif dari pemerintahan Trump hanya memberikan dampak terbatas pada dolar Singapura.
Data dari Bloomberg menunjukkan dolar AS mengalami pelemahan sebesar 0,68% terhadap dolar Singapura, menjadi 1,3365 SGD per USD.
Lebih lanjut, Ibrahim menjelaskan bahwa kebijakan tarif tinggi memiliki dampak yang lebih signifikan terhadap negara-negara yang memiliki surplus perdagangan dengan AS.
“Negara-negara seperti Malaysia, Australia, dan Indonesia memiliki surplus perdagangan dengan AS, sehingga penerapan tarif yang tinggi akan lebih mempengaruhi mata uang mereka,” jelasnya.
Secara umum, Ibrahim memperkirakan bahwa pergerakan mata uang di kawasan Asia akan terus menunjukkan fluktuasi yang dinamis.
Tarif Trump Bikin Bursa Asia Anjlok, Ini Pengaruhnya ke Indonesia
Jika negara-negara yang terkena dampak mengambil langkah-langkah kebijakan balasan terhadap AS, nilai tukar mata uang mereka berpotensi menjadi lebih stabil dalam menghadapi tekanan pasar.
Namun, Lukman mengingatkan bahwa eskalasi kebijakan pembalasan justru dapat memicu peningkatan ketidakpastian global dan memperburuk situasi ekonomi secara keseluruhan.
“Prospek mata uang di kawasan Asia diperkirakan akan tetap menghadapi tantangan berat dan cenderung tertekan jika tensi perang dagang terus berlanjut,” pungkasnya.