Stocknesia, Jakarta – Delegasi pemerintah Indonesia, dipimpin oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, saat ini tengah melakukan serangkaian negosiasi penting dengan pemerintah Amerika Serikat (AS) di Washington DC. Agenda utama dari pertemuan ini adalah menanggapi implementasi tarif yang diberlakukan oleh pemerintahan Presiden Donald Trump.
Dalam upaya mencapai kesepakatan yang saling menguntungkan, Pemerintah Indonesia telah mengajukan berbagai proposal, termasuk peningkatan signifikan dalam pembelian produk-produk unggulan dari AS, serta pemberian insentif yang menarik bagi perusahaan-perusahaan Amerika yang beroperasi di Indonesia.

Baca Juga
“Beberapa usulan telah disampaikan. Indonesia berkomitmen untuk meningkatkan volume pembelian energi dari Amerika Serikat, termasuk di antaranya Liquefied Petroleum Gas (LPG), crude oil, dan gasoline,” jelas Airlangga dalam konferensi pers yang diselenggarakan secara daring pada Jumat pagi, 18 April 2025. Selain itu, Indonesia juga merencanakan untuk melanjutkan pembelian produk-produk pertanian dari AS, seperti gandum, kedelai, dan produk olahan susu kedelai.
Namun, Kantor Perwakilan Dagang AS atau United States Trade Representative (USTR) mengklaim bahwa neraca perdagangan antara Amerika Serikat dan Indonesia mengalami defisit yang cukup besar, mencapai US$ 17,9 miliar pada tahun 2024. Angka ini menunjukkan peningkatan sebesar 5,4 persen atau US$ 923 juta dibandingkan dengan tahun 2023. Akibatnya, Indonesia dikenakan tarif timbal balik sebesar 32 persen.
Dalam dokumen National Trade Estimate Report on Foreign Trade Barriers 2025 yang diterbitkan pada tanggal 31 Maret 2025, USTR mengidentifikasi sejumlah hambatan, baik tarif maupun non-tarif, yang dihadapi oleh Amerika Serikat dalam hubungan dagangnya dengan berbagai negara mitra, termasuk Indonesia. Berikut adalah beberapa isu utama yang menjadi perhatian AS terkait hambatan perdagangan:
Pemberlakuan Tarif
USTR menyatakan bahwa Indonesia telah secara bertahap meningkatkan tarif impor selama satu dekade terakhir, terutama untuk komoditas-komoditas yang bersaing dengan industri dalam negeri. Contohnya meliputi barang-barang elektronik, produk perawatan kecantikan, produk farmasi, minuman beralkohol, dan berbagai produk makanan.
Dokumen tersebut menyoroti bahwa Indonesia mengenakan tarif di atas 25 persen untuk sebagian besar produk makanan, tepatnya 99 persen. Sementara itu, rata-rata tarif Most-Favored Nation (MFN) yang berlaku di Indonesia adalah 8 persen. Amerika Serikat juga menyatakan keberatannya terhadap tarif yang dikenakan oleh Indonesia untuk komoditas di sektor teknologi informasi dan komunikasi.
Perizinan Impor yang Rumit
Laporan USTR menyoroti kompleksitas perizinan impor di Indonesia, yang dinilai tumpang tindih dan seringkali mengalami perubahan kebijakan. USTR secara khusus mengkritik kinerja Online Single Submission (OSS), yang dianggap menambah kerumitan dan menyebabkan penundaan karena masalah teknis yang sering terjadi dan kurangnya integrasi sistem.
Selain itu, USTR juga menyinggung mengenai kuota impor yang diterapkan oleh pemerintah Indonesia. “Pembatasan ini dirancang untuk melindungi industri lokal, tetapi memiliki dampak signifikan terhadap akses pasar bagi eksportir AS dan negara lain,” demikian pernyataan dalam laporan tersebut.
Minimnya Perlindungan Properti Intelektual
USTR menyoroti lemahnya perlindungan properti intelektual oleh pemerintah Indonesia, yang tercermin dari tingginya tingkat pembajakan dan pelanggaran hak cipta. Laporan ini secara spesifik menyebut Pasar Mangga Dua di Jakarta, yang masuk dalam daftar Review of Notorious Markets for Counterfeiting and Piracy 2024.
Penggunaan QRIS
Isu lain yang dipermasalahkan oleh USTR adalah terkait sektor jasa keuangan, khususnya penggunaan Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS). Laporan tersebut menyatakan bahwa perusahaan-perusahaan AS, termasuk bank dan penyedia jasa pembayaran, merasa tidak dilibatkan dalam proses pengambilan kebijakan mengenai QRIS oleh Bank Indonesia.
“Stakeholder internasional tidak diberitahu mengenai potensi perubahan yang diakibatkan oleh kebijakan ini dan tidak diberi kesempatan untuk memberikan masukan terhadap sistem tersebut,” tulis USTR.
Tingkat Komponen Dalam Negeri
Laporan USTR juga menyoroti persyaratan tingkat komponen dalam negeri (TKDN), terutama untuk produk-produk teknologi informasi dan komunikasi. Di Indonesia, perangkat berbasis 4G-LTE wajib memiliki komponen lokal dengan proporsi minimal sebesar 35 persen.
Selanjutnya, perangkat penerima siaran televisi seperti TV dan set box harus memenuhi persyaratan minimal 20 persen. “Persyaratan ini membatasi kemampuan perusahaan-perusahaan AS untuk menjual perangkat telekomunikasi dan produk elektronik di pasar Indonesia,” demikian bunyi laporan USTR.
Ilona Estherina turut berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
Pilihan Editor: Perang Dagang AS-Cina: Peluang atau Ancaman bagi Indonesia?