Stocknesia – Sebuah proyeksi yang cukup menggemparkan muncul dari Arthur Hayes, yang dikenal sebagai mantan CEO dari bursa kripto Bitmex dan kini memimpin Maelstrom, sebuah perusahaan investasi yang berfokus pada tahap awal.
Dalam esai terbarunya yang dipublikasikan pada Minggu (31/3), Hayes mengemukakan pendapatnya bahwa harga Bitcoin berpotensi meroket hingga mencapai USD 250.000, atau setara dengan Rp 4,1 miliar, pada penghujung tahun 2025. Pemicunya, menurutnya, adalah kebijakan pelonggaran moneter (quantitative easing/QE) yang secara diam-diam telah kembali diimplementasikan oleh bank sentral Amerika Serikat, Federal Reserve (The Fed).

Baca Juga
“Teknologi yang mendasari Bitcoin telah teruji dan berfungsi dengan baik, dan tidak ada perubahan fundamental yang diperkirakan dalam waktu dekat, baik positif maupun negatif. Hal ini mengimplikasikan bahwa pergerakan harga Bitcoin saat ini sangat bergantung pada bagaimana pasar memperkirakan ketersediaan mata uang fiat di masa depan,” tulis Hayes dalam analisisnya yang mendalam.
Ia menjelaskan bahwa jika The Fed benar-benar mengambil langkah untuk beralih dari kebijakan pengetatan (quantitative tightening/QT) ke pelonggaran (QE) dengan tujuan membiayai defisit fiskal yang terus membengkak, maka prospek Bitcoin akan sangat cerah.
Lebih lanjut, Hayes berpendapat bahwa harga Bitcoin telah mencapai titik terendah lokalnya di USD 76.500, atau sekitar Rp 1,25 miliar, pada bulan sebelumnya, dan kini siap untuk mengalami lonjakan yang signifikan.
“Jika saya harus memilih, apakah Bitcoin akan kembali menyentuh angka USD 76.500 atau justru melampaui USD 110.000 terlebih dahulu, saya akan dengan yakin memilih opsi yang kedua,” tegas Hayes.
Dalam tulisannya yang bernada provokatif, Hayes menyajikan sebuah skenario imajiner yang melibatkan Ketua The Fed, Jerome Powell, dan Menteri Keuangan AS, Scott Bessent, di mana Powell secara simbolis digambarkan ‘menyerah’ pada dominasi fiskal yang diusung oleh Bessent.
Hayes menamai era ini sebagai kembalinya “fiscal dominance”, sebuah situasi di mana bank sentral lebih mengutamakan agenda belanja pemerintah daripada berfokus pada pengendalian inflasi.
“Sekarang setelah BBC—Big Bessent Cock—berhasil menaklukkan Powell, The Fed diperkirakan akan kembali membanjiri pasar dengan likuiditas dolar,” tulisnya dengan gaya penulisan yang khas, blak-blakan, dan penuh sindiran.
Hayes juga menyoroti pernyataan Powell yang disampaikan dalam konferensi pers Federal Open Market Committee (FOMC) pada tanggal 19 Maret lalu.
Pada kesempatan tersebut, Ketua The Fed menyinggung kemungkinan untuk melepas obligasi berbasis hipotek (mortgage-backed securities) sambil tetap mempertahankan ukuran neraca mereka.
Menurut interpretasi Hayes, ini merupakan indikasi bahwa The Fed akan kembali memprioritaskan pembelian surat utang negara AS (Treasury), yang menandakan pergeseran kebijakan dari QT menuju QE.
Selain itu, Hayes menyoroti pernyataan Bessent mengenai rencana untuk menangguhkan aturan supplementary leverage ratio, yang berpotensi menurunkan imbal hasil obligasi negara sebesar 30 hingga 70 basis poin.
Jika rencana ini diimplementasikan, bank-bank komersial akan memiliki lebih banyak fleksibilitas untuk membeli obligasi pemerintah dan meningkatkan likuiditas di pasar.
Sebagai informasi tambahan, Hayes baru-baru ini menerima pengampunan (pardon) dari Presiden Donald Trump terkait pelanggaran hukum anti pencucian uang yang pernah dilakukannya bersama rekan-rekannya di Bitmex.
“Seberapa cepat modal akan didistribusikan akan sangat bergantung pada seberapa akurat prediksi saya,” ujarnya sebagai penutup esainya, “Namun, saya tetap optimis bahwa Bitcoin akan mampu menembus angka USD 250.000 sebelum akhir tahun ini.”